Myindonesianews.online – Yogyakarta – Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Koordinator Wilayah (Korwil) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Dani Eko Wiyono menemui sejumlah pihak untuk menyampaikan persoalan ketenagakerjaan di DIY menyangkut keselamatan kerja. Aksi ini merespons masih minimnya jaminan keselamatan kerja bagi para pekerja dan buruh di DIY.
foto dokumen Myindonesianews.online
Sebelumnya, K-SBSI Korwil DIY menyoal data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan DIY. Pasalnya, data tersebut menunjukkan 73 persen pekerja di DIY pada 2022 lalu, tidak memiliki jaminan keselamatan kerja. Di sisi lain, kondisi ini diperparah dengan masih abainya perusahaan dalam memberikan perlindungan terhadap keselamatan kerja.
Berkaca pada realita tersebut, K-SBSI Korwil DIY menyatakan bahwa hal ini sangat membahayakan kalangan pekerja. Apalagi para pengusaha kerap lepas tangan terhadap keselamatan kerja di saat para pekerja mengalami permasalahan hingga berpotensi kematian.
Lebih lanjut, K-SBSI Korwil DIY mendesak BPJS Ketenagakerjaan DIY dan Disnakertrans DIY agar merespons persoalan ini dengan mengambil sikap tegas kepada perusahaan penunggak pembayaran BPJS Ketenagakerjaan agar tak membandel.
Dani kemudian menyebut untuk mencapai kesejahteraan, para buruh dan pekerja perlu terus memperjuangkan haknya. Perjuangan tersebut harus dipandang dalam kerangka mendorong pemerintah untuk mewujudkan perlindungan dan kepastian terhadap posisi buruh maupun pekerja yang beririsan dengan pengusaha, serta menjamin keberpihakan dalam menggapai kehidupan yang layak.
“Bagi suatu perusahaan, keberadaan buruh dan pekerja harus dipandang sebagai salah satu penentu keberhasilan, kemajuan, dan penopang perusahaan dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Dani saat dikonfirmasi, Rabu (22/2/2023).
Dani menegaskan aksinya menemui sejumlah pihak, di antaranya Kepala BPJS Ketenagakerjaan DIY, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY hingga Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) DIY dilakukan pasca BPJS Ketenagakerjaan DIY merilis data yang menunjukkan pada 2022 lalu para pekerja di DIY masih minim memiliki jaminan keselamatan kerja.
Realita ini kemudian disikapi oleh K-SBSI Korwil DIY dengan mendesak sejumlah pihak agar segera merespons persoalan tersebut.
Dani tak masalah bila pemerintah berdalih aturan yang mewajibkan perusahaan membayarkan BPJS Ketenagakerjaan sudah sejalan dengan pemenuhan hak buruh dan pekerja khususnya menyangkut jaminan keselamatan kerja, dengan catatan harus ada mekanisme pengawasan yang ketat.
Di antara syarat pengawasan yang perlu dikedepankan adalah relevan dengan upaya membereskan persoalan yaitu mampu memproteksi jaminan keselamatan kerja. Kemudian dibuktikan dengan upaya pemanggilan terhadap perusahaan yang menunggak pembayaran, lalu penguatan domain pemerintah dengan regulasi baru untuk menjerat perusahaan penunggak BPJS yang membandel lantas memprosesnya.
Alih-alih memikirkan kerugian yang berdampak luas terhadap buruh dan pekerja di DIY, perusahaan dalam hal ini harus disikapi dengan tegas oleh pemerintah daerah dan penegak hukum.
“Mereka yang tak peduli pada kesejahteraan buruh harus ditindak tegas,” ucap Dani.
Namun Dani ragu, bilamana aturan BPJS Ketenagakerjaan itu bisa terlaksana. Terlebih kondisi ekonomi politik saat ini rawan memunculkan kepentingan pragmatis.
Dani menyebut hal ini sebagai diskriminatif. Karena, diduga menjadi bentuk pengkhianatan atas dedikasi para buruh dan pekerja yang berjuang keras dengan sekuat tenaga yang dimilikinya untuk memacu pertumbuhan perusahaan.
“Kebijakan tanpa disertai mekanisme pengawasan yang ketat, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi pengusaha dan manajemen yang ada di perusahaan,” ujar Dani.
Dani menyebut bila kritik para buruh dan pekerja tidak didengar oleh petinggi pemerintah, dan masih diabaikan oleh perusahaan maka dimungkinkan sejumlah bahaya akan mengancam ekosistem ketenagakerjaan di DIY.
Perusahaan makin tidak kompetitif, bahkan pengembangan sumber daya manusia mengalami kemunduran karena rusaknya budaya perusahaan dan etos kerja. Tuntutan global dan dinamika perubahan yang seharusnya direspons melalui perbaikan ketenagakerjaan di internal perusahaan pun dipertaruhkan.
“Pengusaha seolah kehilangan akal sehatnya, dengan menggadaikan prinsip-prinsip yang mendasari budaya perusahaan. Sebab, ada ruang transaksional yang sangat lebar dengan pihak luar yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memastikan keberlangsungan operasional perusahaan,” ujar Dani.
Meski kenyataan jual-beli fasilitas dari pihak-pihak tertentu yang melibatkan pengusaha ini menjadi masalah di depan mata, Dani menyebut pemerintah seakan diam saja. Dani juga menyebut pemerintah tetap bergeming padahal perbaikan ekosistem ketenagakerjaan maupun perburuhan di DIY harus terus dipastikan agar mengarah ke pemenuhan hak buruh dan pekerja.
Oleh karena minimnya dukungan atau upaya pembelaan harkat buruh dan pekerja dari pemerintah, Dani mendorong buruh maupun pekerja di DIY untuk lebih serius lagi.
Penolakan bisa dimulai dari memastikan pengusaha untuk berkontribusi secara signifikan dan berpengaruh terhadap perlindungan atas hak-hak substansial buruh dan pekerja.Sebab,kata Dani, perusahaan itu berpotensi besar menyalahgunakan keuangannya untuk kepentingan transaksional.
“Mendorong buruh dan pekerja di DIY untuk mendesak perusahaan agar menolak pemberian fasilitas dari pihak luar yang menyalahgunakan kewenangannya karena bisa menurunkan integritas perusahaan dan mengikis independensi perjuangan buruh dan pekerja,” tandasnya. Supani