Myindonesianews.online – Jakarta — Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI), Hence Grontson Mandagi, menyatakan bahwa Surat Keputusan Presiden RI Nomor 16/M Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers Periode 2025–2028 berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika tidak segera dicabut.
Mandagi mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera membatalkan SK tersebut, yang dinilainya telah melegitimasi proses pemilihan anggota Dewan Pers yang cacat secara hukum dan bertentangan dengan konstitusi.
Hak konstitusional para pimpinan organisasi pers telah dirampas oleh Dewan Pers periode 2022–2025 dalam proses pemilihan anggota periode baru. Celakanya, Presiden justru melegalkan pelanggaran HAM ini melalui SK tersebut,” ujar Mandagi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Pelanggaran Konstitusi dan Pengkhianatan Terhadap Semangat Reformasi Pers
Menurut Mandagi, proses pemilihan anggota Dewan Pers seharusnya menjadi hak organisasi wartawan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun hak tersebut justru diambil alih oleh Dewan Pers sendiri.
Ia menilai, kondisi ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi pers tahun 1999, saat UU Pers disahkan untuk menjamin kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, serta dikuatkan oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 27, serta Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak organisasi pers atas perlindungan dari diskriminasi telah dilanggar. Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali,” tegasnya.
Mandagi juga mengutip pandangan resmi pemerintah dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 di Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan bahwa fungsi Dewan Pers bukan sebagai regulator dan tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan sendiri, apalagi membentuk badan pekerja pemilihan anggota.
Dalam penjelasan resmi pemerintah saat pembahasan RUU Pers 1999, disebutkan bahwa Keputusan Presiden hanya berfungsi sebagai pengukuhan. Sementara pemilihan anggota sepenuhnya diserahkan kepada organisasi wartawan dan perusahaan pers, bukan Dewan Pers,” tambah Mandagi.
Pemilihan oleh 11 Organisasi Dinilai Cacat Hukum
Mandagi membeberkan bahwa Dewan Pers periode 2025–2028 yang ditetapkan Presiden, merupakan hasil seleksi oleh Badan Pekerja bentukan Dewan Pers, yang hanya melibatkan 11 organisasi konstituen, tanpa melibatkan puluhan organisasi pers berbadan hukum yang sah.
Ini jelas cacat hukum. Presiden seharusnya melindungi hak organisasi pers yang sah, bukan justru mengabaikannya,” ujarnya.
Menurutnya, sejarah pemilihan Dewan Pers pertama tahun 2000 melibatkan 40 organisasi, terdiri dari 33 organisasi wartawan dan 7 organisasi perusahaan pers, dan menjaring 121 calon. Bandingkan dengan pemilihan tahun ini yang sangat tertutup dan terbatas.
Ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah dan DPR, yang dalam sidang di MK menyampaikan bahwa Dewan Pers bukan regulator, namun dalam praktiknya tetap menjalankan fungsi seolah-olah sebagai lembaga pengatur.
Jangan sampai pernyataan pemerintah dan DPR di MK hanya akal-akalan untuk menggagalkan uji materi,” kritiknya.
Ancaman Gugatan di PTUN Jika SK Tidak Dicabut
Mandagi menegaskan bahwa jika Presiden tetap tidak mencabut SK tersebut, SPRI siap menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai upaya hukum untuk melindungi hak-hak organisasi pers.
Presiden harus menjadi pelindung seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir elit media dan konstituen Dewan Pers yang tidak punya legal standing,” pungkasnya.
Editor : Hafiz
Pewarta : Hadi Susilo
Kontributor : Marno