Myindonesianews.online – Semarang – Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi, mendapat apresiasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Semarang karena langkah-langkah progresif yang dilakukan dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Langkah-langkah tersebut di antaranya adalah proses hukum yang tegas dan proporsional terhadap pelakunya, memfasilitasi hak restitusi korban dan pemulihan psikologis melalui tim trauma healing.
Direktur LBH APIK Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko menyebut bahwa pihaknya belum pernah mendapatkan tawaran mediasi dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual saat bekerja sama dengan Polda Jawa Tengah.
“Itu sesuai dengan perintah dari undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual, di mana kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan dengan cara damai,” katanya melalui sambungan telepon pada hari Minggu (29/1/2023).
Rara menyebutkan bahwa di Kendal dan Wonosobo, pengadilan telah memberikan hak restitusi kepada korban kekerasan seksual sebagai upaya penyelesaian kasus secara progresif. Ini merupakan putusan pengadilan pertama dan kedua yang mencantumkan hak restitusi untuk korban.
Polda Jawa Tengah di bawah nakhoda Irjen Pol Ahmad Luthfi melakukan langkah progresif dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan bawah umur di Brebes pada Desember 2022.
Meskipun sempat ditawarkan mediasi oleh LSM, kapolda memerintahkan agar kasus tersebut diproses hukum. Pelaku ditangkap dan diproses sesuai undang-undang, serta hak-hak korban tetap diperhatikan.
LBH APIK Semarang bekerja sama dengan Polda Jawa Tengah melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak sejak 2016. Kerjasama ini juga melibatkan pihak Rumah Sakit Bhayangkara Semarang dan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak setempat.
“Kami sangat mengapresiasi upaya Polda Jawa Tengah dalam melakukan trauma healing untuk korban kekerasan seksual, khususnya perempuan dan anak. Hal ini sangat penting karena korban yang tidak ditangani dengan baik rentan menjadi pelaku di kemudian hari. Pendampingan dan layanan pemulihan psikologis sangat dibutuhkan untuk mengatasi ketidaktahuan korban tentang apa yang dialaminya.” Lanjut Rara.
Rara, dari LBH APIK Semarang, menyatakan bahwa tahun 2022 adalah tahun tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan angka ini diantaranya korban yang berani melaporkan, peran aparat penegak hukum, dan perhatian masyarakat dan keluarga terhadap kasus tersebut. Dalam kurun waktu itu, LBH APIK Semarang mencatat ada 82 kasus yang terjadi di Jawa Tengah.
Rara menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2022 tertinggi, dan itu bisa karena faktor korban yang berani melaporkan dan peran masyarakat yang semakin perhatian.
Ia menambahkan bahwa LBH APIK Semarang tidak setuju jika kasus seperti itu dirukunkan atau didamaikan, seperti dinikahkan, karena dianggap sebagai kemunduran dalam perlindungan hukum terhadap korban.
Negara juga harus turut hadir dalam memberikan perlindungan kepada korban sesuai dengan mandat dari UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Rara menyatakan bahwa kolaborasi dengan Polda Jawa Tengah dalam menangani kasus kekerasan seksual sudah berlangsung sejak 2016.
Tim Polda Jawa Tengah juga melakukan trauma healing yang sangat diapresiasi. Rara berharap tindakan progresif seperti ini bisa dilakukan oleh semua penyidik di polres-polres di Jawa Tengah.
Rara menginginkan agar Kapolda Jawa Tengah memberikan surat edaran ke seluruh polres di wilayahnya, sehingga tidak ada damai di kasus kekerasan seksual, sesuai mandat UU TPKS.
Langkah ini penting dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan dukungan dari LBH APIK Semarang yang memiliki visi dan misi yang sama.
RED