Myindonesianews.online – Sukoharjo – Peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” menjadi awal mula dari rangkaian peristiwa yang mengubah peta kekuasaan di Jawa Tengah pada abad ke-18. Tragedi ini bermula ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) melakukan pembantaian terhadap komunitas Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740.
Akibatnya, ribuan orang Tionghoa yang berhasil melarikan diri mencari perlindungan dan bersekutu dengan kekuatan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bersumpah setia kepada Pakubuwono II, penguasa Mataram saat itu, dan bersama-sama menggalang kekuatan untuk melawan VOC.
Namun, VOC yang terkenal licik dan cerdik dalam strategi politik serta militer, berhasil memecah belah kekuatan gabungan Mataram dan Laskar Tionghoa. Pada awal 1742, VOC berhasil menekan beberapa posisi penting pasukan gabungan tersebut. Menyadari posisinya yang semakin terjepit, Sri Susuhunan Pakubuwono II yang awalnya memimpin perlawanan terhadap VOC, akhirnya memutuskan untuk berbalik mendukung VOC. Keputusan ini menimbulkan gejolak besar di kalangan pasukan gabungan Jawa-Tionghoa.
Perlawanan Raden Mas Garendi dan Pasukan Gabungan
Dengan membelotnya Pakubuwono II, perlawanan terhadap VOC dipimpin oleh Raden Mas Garendi, seorang pangeran muda yang didukung oleh Kapitan Sepanjang, pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia. Raden Mas Garendi, yang kemudian dijuluki Sunan Kuning karena sebagian besar pasukannya berasal dari etnis Tionghoa, berhasil menggalang dukungan dari berbagai pihak, termasuk:
– Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), yang kelak menjadi pendiri Kasunanan Surakarta.
– Patih Natakusuma, patih bawahan Pakubuwono II yang memilih mendukung Raden Mas Garendi.
– Tumenggung Martapura, Bupati Grobogan.
– Tumenggung Mangun Oneng, Bupati Pati.
– Singseh, pemimpin Laskar Tionghoa dari Tanjung Welahan (dekat Demak).
– Kapitan Sepanjang, pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia.
Pasukan gabungan ini bergerak untuk merebut kembali Keraton Mataram di Kartasura, yang saat itu dikuasai oleh Pakubuwono II yang telah bersekutu dengan VOC. Puncak dari perlawanan ini terjadi pada 30 Juni 1742, ketika pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerang Keraton Kartasura.
Dengan menggunakan meriam, pasukan Raden Mas Garendi berhasil menjebol benteng istana. Jejak serangan dahsyat ini masih dapat dilihat hingga saat ini, berupa lubang selebar 2 meter di kompleks Situs Karaton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Pelarian Pakubuwono II dan Naik Tahtanya Raden Mas Garendi
Menghadapi serangan tersebut, Pakubuwono II dan keluarganya terpaksa melarikan diri dari Keraton Kartasura. Evakuasi mereka dipimpin oleh Kapten Van Hohendorff, pemimpin tentara kolonial VOC di Kartasura. Mereka melarikan diri ke Magetan melalui Gunung Lawu dan akhirnya mendapatkan perlindungan aman di Ponorogo.
Setelah berhasil merebut Keraton Kartasura, Raden Mas Garendi naik tahta pada 1 Juli 1742 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping V”, atau lebih dikenal sebagai Sunan Amangkurat V.
Naiknya Raden Mas Garendi ke tahta Mataram menandai puncak dari perlawanan terhadap VOC dan Pakubuwono II.
Peran Tokoh Perempuan dalam Perjuangan
Salah satu tokoh menarik dalam peristiwa ini adalah Tan Peng Nio, seorang pendekar wanita dari Kekaisaran Qing di Tiongkok yang turut serta dalam peperangan. Setelah perang usai, Tan Peng Nio menikah dengan Adipati Kolopaking III, pemimpin Kadipaten Panjer (Kebumen). Kisahnya menjadi simbol keberanian dan peran perempuan dalam perjuangan melawan penjajahan.
Warisan Sejarah yang Abadi
Peristiwa Geger Pecinan dan penyerbuan Keraton Kartasura oleh pasukan Raden Mas Garendi meninggalkan jejak sejarah yang masih dapat disaksikan hingga kini. Lubang tembok selebar 2 meter di Situs Karaton Kartasura menjadi bukti nyata dari dahsyatnya serangan tersebut.
Peristiwa ini juga menjadi catatan penting dalam sejarah perlawanan rakyat Jawa dan Tionghoa terhadap kolonialisme VOC, serta pergolakan politik internal Kerajaan Mataram.
Dikutip dan disusun kembali dari berbagai sumber sejarah terpercaya.
Editor : Hafiz